
Erasmus Frans Mandato mengacungkan dua jari membentuk huruf "V" yang merupakan simbol kemenangan dan perdamaian (Foto: Medi Mia)
Erasmus Frans Mandato atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mus Frans, Senin 1 September 2025 pekan lalu resmi diperiksa sebagai tersangka dan kemudian mendekam dalam tahanan Mapolres Rote Ndao. Mus Frans ditahan atas unggahan status pada akun pribadi media sosial Facebook-nya 24 Januari 2025 silam.
Unggahan status Mus Frans dalam akun pribadinya ini merupakan kritik yang disampaikannya secara terbuka mengenai betapa sulitnya warga lokal maupun wisatawan mancanegara mengakses pantai Oemau di Bo’a untuk melakukan aktifitas pantai yang salah satunya adalah olahraga berselancar ombak atau surfing.
Mus Frans yang juga gemar olahraga berselancar ombak ini kerap merasa tidak enak saat mendengar keluh kesah para wisatawan mancanegara yang ditolak masuk oleh penjaga keamanan saat hendak melewati jalan masuk ke Pantai Oemau. Sebagai pelaku pariwisata ia pun mempertanyakan dasar dari penutupan jalan akses menuju pantai Oemau, mengingat pantai adalah milik negara dan tidak boleh dikuasai oleh siapa pun dan menjadikannya sebagai kawasan privat yang hanya boleh digunakan dan akses oleh tamu penghuni hotel bintang 5
Menurut Mus Frans, penutupan jalan yang dilakukan secara sepihak oleh PT Bo’a Development yang mengelola Resort Nihi Rote ini sama saja dengan merampas hak masyarakat termasuk wisatawan mancanegara, untuk mengakses kawasan pantai Oemau, yang masuk dalam wilayah administratif Desa Bo’a, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao.
Penutupan akses jalan secara sepihak yang terjadi di tahun 2024 lalu tentunya melahirkan keresahan di kalangan masyarakat dan wisatawan mancanegara. Hal ini bukanlah kali pertama terjadi. Sebelumnya kasus serupa juga pernah terjadi di tahun 2020, namun tetap saja Pemerintah Kabupaten Rote Ndao tidak memberikan alternatif dan solusi atas persoalan yang ada.
Di Indonesia, beragam regulasi sudah mengatur bahwa pantai bukanlah milik pribadi tapi merupakan milik negara termasuk kawasan wisata pantai Oemau atau yang lebih dikenal dengan nama pantai Bo’a. Bagi para surfer, pantai Bo’a merupakan salah satu “surga”nya peselancar karena memiliki ombak terbaik di dunia. Itu sebabnya nama pantai Bo’a mendunia sebagai salah satu tempat tujuan wisata surfing.
Unggahan status Mus Frans di akun sosial media Facebook pribadinya tersebut, mengundang beragam pendapat pro-kontra. Pihak manajemen Bo’a Development yang mengelola hotel NIHI Rote pun meradang dan merasa difitnah oleh kritik Mus Frans yang dianggap menyebarluaskan kebohongan. Melalui Samsul Bahri, PT Bo’a Development kemudian melaporkan Mus Frans ke Mapolres Rote Ndao.
Menerima laporan Samsul Bahri tersebut, pihak penyidik Polres Rote Ndao kemudian memanggil Mus Frans untuk diperiksa. Mantan anggota DPRD Rote Ndao dua periode dari Partai Hanura ini pun diperiksa sebagai saksi. Dua kali Mus Frans menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Alhasil, Mus Frans yang juga merupakan Ketua organisasi Persatuan Selancar Ombak Indonesia (PSOI) NTT ini pada 29 Agustus 2025 lalu ditetapkan sebagai tersangka melalui surat penetapan bernomor SP.Tap/17/VIII/RES.2.5./2025/RES. Dalam surat penetapan tersangka tersebut oleh penyidik Polres Rote Ndao, Mus Frans dijerat dengan pasal 45(A) ayat 3 junto pasal 28(A) ayat 3; Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “..Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya membuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat..” . Ada pun pasal yang digunakan untuk menjerat Mus Frans, jika di pengadilan nanti ia dinyatakan terbukti bersalah maka ia dapat diputus dengan hukuman pidana penjara selama 6 tahun dipotong masa tahanan.
Dimata publik Rote Ndao, surat penetapan status tersangka dan perintah penangkapan atas Mus Frans ini dianggap terlalu mengada-ada, berlebihan, gegabah, dan tentu saja membangun “kemarahan” publik, khususnya keluarga besar Mus Frans. “Kemarahan” publik ini juga ikut dirasakan oleh para aktifis mahasiswa Rote, yang tergabung di GMKI Rote Ndao serta IKMAR NTT. Aliansi keluarga dan mahasiswa ini menganggap Kapolres Rote Ndao AKBP Mardiono S.ST., M.K.P. telah melakukan kriminalisasi atas sosok Mus Frans yang dikenal publik Rote Ndao sebagai sosok pengusaha yang juga politisi muda dengan moral politik yang bersih.
Selama lima hari berturut-turut, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan menggelar aksi demonstrasi menuntut dibebaskannya Mus Frans dari tahanan Mapolres Rote Ndao. Aksi pada hari ketiga sempat ricuh dan berujung pada bentrok fisik yang menyebabkan aktifis GMKI Melianus Maimau menderita luka ringan di bagian kepalanya akibat pentungan polisi. Melianus terpaksa harus menjalani perawatan medis dengan mendapatkan empat jahitan. Selain Melianus ada juga Ikke Frans, adik perempuan Mus Frans menderita luka memar di bagian kepala setelah terkena hantaman pentungan Dalmas Polres Rote Ndao. Akibat hantaman ini Ikke Frans sempat pingsan di lokasi aksi dan dilarikan ke rumah sakit Ba’a guna menjalani pemeriksaan dan perawatan medis.
Pasca kericuhan ini, selain tuntutan pembebasan Mus Frans, massa aksi menuntut agar Kapolri Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo M.Si segera mencopot AKBP Mardiono S.ST. M.K.P. sebagai Kapolres Rote Ndao semakin nyaring bergema ruang-ruang publik termasuk di media sosial warga Rote Ndao
Aksi dengan misi menuntut keadilan dan menolak kriminalisasi ini tidak hanya dilakukan Aliansi Masyarakat untuk Keadilan di Mapolres Rote Ndao, tapi juga di gedung DPRD Rote Ndao. Di tempat ini mereka melakukan rapat dengar pendapat dengan DPRD Rote Ndao, yang selama ini terkesan bungkam atas kasus ini.
Pada hari keenam Kapolres Rote Ndao AKBP Mardiono S.ST., M.K.P. atas arahan Irwasda Polda NTT Kombes Pol Murry Mirranda S.I.K., M.H akhirnya mengeluarkan surat penangguhan penahanan atas Mus Frans. Kehadiran Kombes Murry Mirranda di Mapolres Rote Ndao memberikan warna kesejukan tersendiri mengingat Kombes Murry Mirranda pernah menjadi Kapolres Rote Ndao dan selama bertugas di Rote Ndao, ia dikenal memiliki hubungan baik dengan beragam kalangan masyarakat adat termasuk dengan Keluarga Besar Mus Frans. (*)
Tolak privatisasi Pantai Oemau.. Kawasan pantai Oemau adalah milik publik bukan milik investor dan pejabat kabupaten-desa
#OemauNot4Sale