
Di tengah hiruk-pikuk kota Kupang Nusa Tenggara Timur, di sebuah sudut bernama Dapo San 17, tepat di hadapan Kampus UNIKA Baru Lanudal, sebuah pertemuan nurani digelar. Selasa, 7 Oktober 2025, menjadi saksi bisu bagi Aliansi Rakyat Menggugat (ALARAM) yang menyelenggarakan diskusi publik bertajuk "Kriminalisasi dalam Bayang-bayang Investasi Wisata Pantai Bo'a", (Foto: Istimewah).
KUPANG | Nemberalanews.com – Di tengah hiruk-pikuk kota Kupang Nusa Tenggara Timur, di sebuah sudut bernama Dapo San 17, tepat di hadapan Kampus UNIKA Baru Lanudal, sebuah pertemuan nurani digelar. Selasa, 7 Oktober 2025, menjadi saksi bisu bagi Aliansi Rakyat Menggugat (ALARAM) yang menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Kriminalisasi dalam Bayang-bayang Investasi Wisata Pantai Bo’a”.
Sebuah tajuk yang menggema, menyingkap tirai konflik antara janji kemajuan dan ancaman terhadap hak asasi. Hillgard Messakh, perwakilan ALARAM, menyampaikan kepada Nemberalanews.com melalui pesan WhatsApp pada Selasa (7/10/2025), bahwa tujuan utama diskusi ini adalah mengedukasi masyarakat tentang duduk perkara kasus yang sedang terjadi. Kasus Erasmus Frans Mandato, seorang aktivis lingkungan yang menjadi tersangka, menjadi fokus utama perbincangan.
“Diskusi ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat luas mengenai duduk perkara kasus yang sedang terjadi,” ungkapnya, menggarisbawahi esensi pencerahan di tengah kebingungan.
Baca Juga: Siswa SD inpres Bo’a Kembalikan Seragam Bantuan Nihi Rote
Kasus Erasmus Frans Mandato, seorang aktivis lingkungan yang kini berstatus tersangka, menjadi poros utama perbincangan, sebuah cermin retak dari sebuah sistem yang kadang kala lupa akan esensi keadilan.
Lebih jauh, Hillgard memandang diskusi ini bukan sekadar ajang tukar pikiran, melainkan sebuah instrumen perlawanan.
“Diskusi ini diharapkan dapat menjadi instrumen untuk memperluas gerakan rakyat dalam melawan upaya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan hidup di Rote Ndao,” tegasnya, menyiratkan harapan akan gelombang kesadaran yang lebih besar.
ALARAM, dengan suara lantang namun bijaksana, menyatakan posisinya. Mereka bukanlah penentang investasi atau kemajuan. Namun, mata mereka jeli melihat potensi privatisasi yang bersembunyi di balik jubah kemajuan, sebuah privatisasi yang dapat mengikis hak-hak fundamental masyarakat. Oleh karena itu, tuntutan mereka begitu jelas: pembebasan tanpa syarat bagi Erasmus Frans Mandato, dan penghentian segala bentuk privatisasi di Pantai Oemau – Bo’a.
Sebuah seruan untuk menjaga keseimbangan, agar bumi dan penghuninya tak menjadi korban atas nama pembangunan. Diskusi ini, pada akhirnya, bukan hanya tentang Pantai Bo’a atau Erasmus Frans Mandato. Ia adalah langkah fundamental dalam perjuangan panjang ALARAM, sebuah upaya untuk memastikan bahwa setiap investasi, setiap kemajuan, tidak pernah mengorbankan hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Dari Dapo San 17, sebuah harapan disemai: agar masyarakat semakin sadar akan hak-hak mereka, dan berani untuk memperjuangkannya, demi masa depan yang lebih adil dan lestari.(*)